Oleh: M. Sudarwin Hasyim. ST.,MT Akademisi Universitas Bumi Hijrah Maluku Utara Sementara Melanjutkan Studi Dotoral (Manajemen Konstruksi) Brawijaya Malang.
PROYEK Jalan Trans Kieraha di Maluku Utara, yang digagas sebagai interpretasi kontemporer dari filosofi luhur Kie Raha (Empat Pilar Kesultanan), merupakan sebuah studi kasus menarik dalam manajemen konstruksi di wilayah kepulauan. Meskipun penamaannya menyiratkan visi persatuan, keseimbangan, dan pembangunan holistik bagi seluruh provinsi, cakupan fisik proyek yang terbatas di Pulau Halmahera menimbulkan kesenjangan signifikan antara simbolisme dan realitas fungsional.
Filosofi Kie Raha sebagai Landasan Strategis
Filosofi Kie Raha (atau Moloku Kie Raha) melambangkan persatuan, keseimbangan, dan gotong royong dari empat Kesultanan: Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Konsep ini menekankan empat pilar yang saling menopang secara horizontal dan mencakup seluruh wilayah Maluku Utara, termasuk ratusan pulau dan lautan luas, dengan prinsip pemerataan.
Dari perspektif manajemen konstruksi:
- Idealnya, Kie Raha harus menginspirasi pendekatan yang lebih inklusif dalam pemilihan lokasi dan jenis infrastruktur, tidak hanya segmen daratan.
- Ketika cakupan proyek (hanya menghubungkan Sofifi–Ekor–Kobe–Buli di Halmahera Timur/Tengah) tidak sejalan dengan makna agung Kie Raha, muncul kesenjangan ekspektasi yang dapat memicu kritik publik dan sinisme. Hal ini menciptakan risiko reputasi yang dapat menghambat kelancaran proyek.
Mismatch Prioritas dan Kompleksitas Geografis
Maluku Utara adalah provinsi kepulauan, di mana tantangan utama logistik adalah konektivitas maritim antar-pulau. Alokasi sumber daya besar untuk proyek jalan darat yang terbatas di Halmahera menimbulkan pertanyaan mengenai prioritisasi investasi infrastruktur. Kritik akademisi menyoroti bahwa fokus ini bertentangan dengan keseimbangan Kie Raha, di mana infrastruktur laut seharusnya setara dengan yang lain.
Ketidakselarasan Fungsional: Antara "Jalur Pangan" dan Hilirisasi Rempah
Proyek Trans Kieraha diklaim sebagai jalur logistik pangan utama yang menghubungkan lumbung pertanian Halmahera Timur ke kawasan industri (PT IWIP) dan Sofifi, dengan harapan menekan biaya logistik 30–40%. Secara strategis, ini mendukung visi nasional hilirisasi perkebunan rempah (pala, cengkeh, kelapa) dan swasembada pangan di bawah Renstra Kementan 2025–2029.
Namun, dari sudut pandang efisiensi rantai pasok, analisis menunjukkan ketidakselarasan fungsional yang signifikan:
- Prioritas Rute yang Bertentangan: Rute Trans Kieraha melintasi koridor pertambangan nikel terbesar dan kawasan industri (PT IWIP) di Halmahera Tengah/Timur. Rute ini lebih optimal untuk truk tambang nikel, bukan angkutan rempah.
- Inefisiensi Rantai Pasok Rempah: Sentra utama perkebunan rempah (pala, cengkeh) sebagian besar berada di Halmahera Selatan, Utara, dan Barat. Karena rute Trans Kieraha tidak menghubungkan langsung ke 70–80% produksi rempah, petani masih bergantung pada logistik maritim yang mahal. Ini menciptakan logistics bottleneck dan meningkatkan biaya hilirisasi.
- Risiko "Infrastruktur Ekstraktif": Fokus konstruksi pada koridor industri nikel berpotensi mengorbankan pembangunan jalan cabang ke kebun rempah, sehingga memunculkan kritik bahwa proyek ini berpihak pada korporasi tambang.
Isu Isolasi Desa dan Kegagalan Mewujudkan Pemerataan Holistik
Filosofi Kie Raha menekankan gotong royong dan pembangunan holistik, yang seharusnya meningkatkan akses pendidikan, kesehatan, dan layanan publik di pedalaman. Namun, proyek ini menimbulkan kritik serius karena:
- Cakupan yang Terbatas dan Parsial: Proyek ini hanya mencakup 3 segmen daratan Halmahera, mengabaikan ratusan pulau kecil dan desa-desa di daratan Halmahera yang masih terisolasi dan membutuhkan akses jalan yang layak.
- Ketimpangan Pembangunan: Meskipun jalan ini membuka akses di Halmahera, fokusnya cenderung berpusat pada pengembangan daratan dan kawasan industri tertentu. Ini menciptakan pemerataan pembangunan yang parsial dan berpotensi meningkatkan ketimpangan sosial.
- Risiko Sosial dan Lingkungan: Ketidakselarasan ini dapat memicu konflik lahan (perkebunan diganti tambang) dan masalah lingkungan. Manajemen konstruksi harus menyusun strategi mitigasi risiko yang komprehensif, termasuk studi kelayakan dan AMDAL yang transparan, untuk mewujudkan keberlanjutan sosial.
Key Findings & Rekomendasi Manajemen Konstruksi
Proyek Jalan Trans Kieraha menunjukkan dilema pembangunan di wilayah kepulauan: upaya konektivitas yang penting namun lingkupnya tidak sebanding dengan filosofi besar yang diusungnya.
Rekomendasi dari aspek Manajemen Konstruksi:
- Revisi Nama atau Perluasan Lingkup: Untuk menjaga kredibilitas, pertimbangkan mengganti nama proyek atau memperluas lingkup secara bertahap untuk mencakup konektivitas ke pulau-pulau utama lainnya melalui pendekatan multi-moda.
- Pendekatan Multi-Moda dan Akses Rempah: Manajemen konstruksi harus mengadopsi pendekatan multi-moda yang seimbang antara infrastruktur darat dan maritim. Redesain rute dengan menambahkan jalan cabang ke sentra rempah di Halmahera Selatan/Barat dan alokasikan anggaran untuk jalan desa yang terisolasi guna mendukung hilirisasi dan pemerataan.
- Transparansi dan Uji Publik FS/AMDAL: Wajib melakukan uji publik secara luas dan transparan terhadap studi kelayakan dan AMDAL untuk membangun kepercayaan dan melegitimasi proyek, serta mengidentifikasi potensi risiko sejak dini.
- Optimalisasi Rantai Pasok Berbasis Kepulauan: Kembangkan strategi manajemen rantai pasok yang inovatif, termasuk kemitraan logistik maritim, untuk mengatasi tantangan pengiriman material dan alat berat di wilayah kepulauan.
- Manajemen Risiko Sosial yang Proaktif: Libatkan masyarakat lokal dan adat sejak awal proses perencanaan untuk memastikan manfaat proyek dirasakan secara adil dan dampak negatif diminimalisir.
Sebagai seorang akademisi yang berfokus pada Manajemen Konstruksi, saya berpandangan bahwa proyek Jalan Trans Kieraha merupakan paradigma yang gagal dalam mengintegrasikan filosofi lokal ke dalam praktik pembangunan.
Kegagalan utama terletak pada diskoneksi antara penamaan filosofis yang agung dengan cakupan fungsional proyek yang terbatas. Proyek ini menunjukkan bahwa manajemen proyek yang berorientasi pada kepentingan koridor ekstraktif, tanpa menyelaraskan dengan kebutuhan konektivitas menyeluruh provinsi kepulauan dan aspirasi hilirisasi rakyat (rempah), akan menghadapi risiko kegagalan sosial dan keberlanjutan.
Sebagai putra daerah, saya merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk mengadopsi model integrasi multi-moda dan transparansi total. Proyek infrastruktur tidak hanya harus layak secara teknis dan finansial, tetapi yang terpenting, harus berkelanjutan secara sosial dan lingkungan untuk dapat mewujudkan nilai-nilai Kie Raha yang sejati: persatuan, keseimbangan, dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh Maluku Utara. Kegagalan dalam hal ini hanya akan mengubah Trans Kieraha menjadi simbol ketimpangan pembangunan.
Dengan menerapkan rekomendasi ini, proyek Trans Kieraha dapat lebih selaras dengan filosofi Kie Raha yang mengedepankan persatuan dan keseimbangan, sekaligus memastikan praktik manajemen konstruksi yang efektif, transparan, dan berkelanjutan di tengah tantangan geografis yang unik.(*)

