Oleh: Muhammad Assyura Umar Kepala Bidang Pemerintahan Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Maluku Utara
PERDEBATAN mengenai Trans Kie Raha semakin ramai setelah muncul kritik bahwa pembangunan jalan ini bukan prioritas, berpotensi mengancam lingkungan, dan tidak signifikan bagi pembangunan desa. Saya menghargai setiap pendapat, dan perbedaan cara pandang adalah bagian penting dari demokrasi. Namun dalam diskursus ini, saya melihat adanya kekeliruan membaca posisi dan fungsi Trans Kie Raha dalam kerangka percepatan pembangunan desa di Maluku Utara.
Pertama, kebijakan pembangunan jalan ini tidak lahir tiba-tiba. Ada kajian teknis, sosial, lingkungan, serta feasibility study yang menjadi dasar penetapan proyek. Negara tidak boleh mengambil langkah strategis tanpa analisis yang memadai, dan dalam hal ini seluruh prosesnya telah melalui mekanisme perencanaan formal sebagaimana diwajibkan.
Kedua, dari perspektif pembangunan desa, Trans Kie Raha adalah infrastruktur kunci untuk membuka keterisolasian wilayah daratan Halmahera. Jalan ini menghubungkan Sofifi–Ekor–Kobe–Weda dan menciptakan poros penting yang menyambungkan pusat pemerintahan, sentra pertanian dan perikanan, serta kawasan industri yang membutuhkan dukungan rantai pasok lokal. Dalam konteks wilayah di mana desa-desanya berjauhan, jalur yang memperpendek jarak tempuh adalah prasyarat lompatan pembangunan.
Ketiga, permasalahan konektivitas antar-desa di Maluku Utara berakar dari infrastruktur jalan yang selama ini bertumpu pada jalur pesisir sebagai arteri utama, sementara desa-desa di pedalaman tidak pernah mendapat akses memadai. Akibatnya, layanan dasar menjadi sulit dijangkau, biaya logistik tinggi, dan mobilitas masyarakat sangat terbatas. Desa-desa pedalaman membeli saprodi dengan harga lebih mahal karena ongkos angkut yang tinggi, sementara hasil produksi mereka dijual dengan harga lebih rendah akibat sulitnya akses menuju pasar. Kondisi inilah yang melanggengkan kemiskinan struktural.
Data terbaru BPS menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin Maluku Utara berada pada angka 5,81 persen per Maret 2025, setara dengan sekitar 77,27 ribu jiwa. Angka ini mencerminkan urgensi perbaikan konektivitas sebagai prasyarat pemerataan ekonomi. Trans Kie Raha hadir untuk memutus mata rantai persoalan ini melalui jalur diagonal yang membuka lintasan baru antar-desa pedalaman, menekan high cost economy, memperkuat rantai pasok, dan menciptakan sistem logistik yang lebih efisien. Dengan demikian, desa mempunyai peluang ekonomi yang lebih adil dan lebih kompetitif untuk keluar dari kemiskinan struktural yang selama ini mengikat mereka.
Keempat, soal anggapan bahwa Trans Kie Raha hanya akan menguntungkan industri ekstraktif atau menjadi jalur istimewa bagi oligarki, izinkan saya menegaskan bahwa itu pembacaan yang, maaf, terlalu cepat menyimpulkan. Jalan ini tidak pernah dirancang untuk memperlancar kepentingan segelintir aktor, melainkan untuk mempercepat mobilitas masyarakat luas, akses kesehatan yang lebih dekat, perjalanan pendidikan yang tidak lagi memakan waktu panjang, dan pergerakan ekonomi desa yang lebih kompetitif.
Jika masih ada yang melihat Trans Kie Raha sebagai proyek khusus untuk kepentingan tertentu, mungkin persoalannya bukan pada jalannya, tetapi pada cara membaca manfaatnya yang terlalu sempit. Sejak awal, Trans Kie Raha diarahkan sebagai infrastruktur pembangunan masyarakat secara luas bukan sebagai fasilitas eksklusif bagi siapa pun.
Kelima, jalan hanyalah prasyarat, bukan tujuan akhir. Pemerintah wajib memastikan program pemberdayaan, mulai dari BUMDes, petani, nelayan, UMKM hingga layanan dasar yang mampu memanfaatkan peluang ekonomi yang terbuka melalui infrastruktur baru ini. Jalan memberi fondasi, tetapi kebijakan turunannyalah yang menentukan apakah masyarakat benar-benar dapat merasakan manfaatnya.
Keenam, berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM), banyak desa di Maluku Utara masih berada pada kategori berkembang dan tertinggal. Untuk mendorong mereka naik kelas menjadi desa maju dan mandiri, aksesibilitas menjadi faktor penentu. Mustahil membayangkan percepatan pembangunan desa tanpa infrastruktur yang menghubungkan desa dengan pasar, layanan dasar, dan jaringan ekonomi yang lebih luas.
Semangat Undang-Undang Desa juga menegaskan posisi strategis desa sebagai beranda utama pembangunan daerah, cermin kualitas budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat. Karena itu, pembangunan desa bukanlah urusan pinggiran. Prioritas Penggunaan Dana Desa diarahkan untuk pengentasan kemiskinan ekstrem, peningkatan layanan dasar, dan pemberdayaan ekonomi. Semua itu membutuhkan akses memadai, dan di titik inilah Trans Kie Raha memainkan peran fundamental.
Perbedaan pendapat dalam ruang publik adalah hal yang wajar. Yang terpenting adalah komitmen bersama untuk menjaga alam sekaligus memastikan desa-desa di Maluku Utara tidak terus tertinggal oleh jarak dan waktu. Dengan perencanaan yang matang, pengawasan yang kuat, dan keberpihakan pada desa, Trans Kie Raha dapat menjadi koridor transformasi yang memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Saya tetap optimis Maluku Utara akan maju, asal kita berpikir jernih, menempatkan data di atas asumsi, dan melihat pembangunan desa sebagai hak yang harus diperjuangkan, bukan sekadar retorika.(*)

