
![]() |
Oleh: Sahlaa Nadim
Ashila
Mahasiswa Prodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Khairun Angkatan 2024
DI TENGAH dinamika kehidupan kampus yang serba cepat, gizi menjadi salah satu aspek yang paling sering diabaikan oleh mahasiswa. Jadwal kuliah yang padat, tugas yang menumpuk, organisasi yang menyita waktu, hingga keterbatasan finansial sering kali membuat mahasiswa memilih makanan cepat saji, mi instan, atau bahkan melewatkan waktu makan. Padahal, apa yang kita makan hari ini sangat menentukan seperti apa kondisi kesehatan, konsentrasi belajar, dan produktivitas kita esok hari.
Sebagai mahasiswa kedokteran yang cukup aktif di berbagai kegiatan kampus, saya melihat langsung bagaimana banyak teman sebaya mengalami kelelahan kronis, sulit fokus, bahkan jatuh sakit akibat pola makan yang tidak sehat. Ironisnya, sebagian besar dari kami sadar bahwa gizi itu penting, namun tetap kesulitan menerapkannya karena alasan waktu, uang, atau sekadar karena kurang tahu harus mulai dari mana.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat bahwa 30,7% remaja usia 18–24 tahun di Indonesia mengalami anemia, dengan sebagian besar disebabkan oleh defisiensi zat besi. Ini adalah angka yang mengkhawatirkan mengingat anemia dapat menyebabkan kelelahan, penurunan konsentrasi, serta berkurangnya daya tahan tubuh. Tidak hanya itu, prevalensi obesitas di kelompok usia yang sama juga meningkat hingga 13,5%, menandakan bahwa mahasiswa tidak hanya berisiko mengalami kekurangan gizi, tetapi juga kelebihan.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Syauqy et al. (2022), mahasiswa non-kesehatan cenderung mengalami ketidakseimbangan asupan zat gizi makro, seperti karbohidrat dan serat. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan asupan gizi setelah intervensi edukasi, yang mengindikasikan bahwa pola makan sebelumnya belum mencukupi standar yang dianjurkan. Hal ini diperkuat oleh data dari Universitas Halu Oleo (2024), yang menunjukkan bahwa mahasiswa kesehatan memiliki asupan energi sebesar 75%, protein 96%, dan karbohidrat 75% dari AKG. Sedangkan mahasiswa non-kesehatan hanya mencapai 61% untuk energi, 86% protein, dan 60% karbohidrat dari total AKG harian. Makanan cepat saji lebih mudah diakses, sementara konsumsi buah, sayur, dan protein berkualitas justru minim.
Pentingnya isu gizi juga tercermin dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Setidaknya dua tujuan utama sangat berkaitan langsung dengan kondisi gizi mahasiswa: SDG 2: Zero Hunger - Menargetkan penghapusan kelaparan dan kekurangan gizi dalam segala bentuknya. SDG 3: Good Health and Well-Being - Menjamin kehidupan sehat dan mendorong kesejahteraan semua orang di segala usia.
Sebagai mahasiswa dari Maluku Utara, saya melihat langsung bagaimana potensi pangan lokal yang kaya gizi justru belum banyak dimanfaatkan. Misalnya, ikan laut yang kaya protein dan omega-3, daun kelor yang mengandung zat besi tinggi, atau sagu sebagai sumber karbohidrat kompleks. Sayangnya, pola makan mahasiswa di daerah pun kini mulai bergeser ke arah makanan instan dan produk olahan pabrik yang miskin nutrisi.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi mahasiswa juga berkaitan erat dengan ketersediaan informasi yang kontekstual. Banyak kampanye gizi masih bersifat umum dan tidak mempertimbangkan budaya makan lokal serta kondisi sosial-ekonomi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Padahal, solusi bisa sangat efektif jika berbasis pada potensi daerah dan pendekatan yang sesuai dengan gaya hidup mahasiswa.
Mengabaikan gizi mahasiswa sama saja dengan mengabaikan masa depan bangsa. Sebaliknya, meningkatkan kesadaran dan akses terhadap makanan bergizi bagi mahasiswa adalah investasi jangka panjang bagi kesehatan, pendidikan, dan produktivitas generasi muda Indonesia.
Sebagai mahasiswa, kita tidak hanya harus cerdas secara akademik, tetapi juga sadar akan pentingnya merawat tubuh dan pikiran kita sendiri. Mulai dari isi piring, kita bisa mulai membangun perubahan—untuk diri kita, untuk komunitas kampus, dan untuk bangsa.
Sebagai penulis opini ini, saya tidak sedang menawarkan solusi instan atau menjadi ahli yang paling tahu. Saya hanya ingin mengajak kita semua, mahasiswa dari berbagai latar belakang, untuk mulai peduli dari hal kecil yang kita bisa. Tidak harus langsung membuat aplikasi atau riset besar; kadang, langkah pertama itu sesederhana memilih makan yang lebih bergizi hari ini, atau mengingatkan teman untuk tidak melewatkan sarapan.
Karena sesungguhnya, perubahan besar berawal dari langkah kecil yang dilakukan terus menerus. Dan kampus adalah tempat terbaik untuk memulainya: tempat ide bertumbuh, inovasi diuji, dan kerja kolektif menjadi nyata. Jika kita saling mendukung, saling dorong, dan saling tumbuh, maka dari satu ide bisa lahir banyak solusi. Dari satu mahasiswa bisa lahir dampak untuk banyak orang.
Saya menulis ini bukan karena saya paling benar, tapi karena saya percaya: generasi kita adalah generasi yang mampu. Yang peduli. Yang mau bangkit, bahkan dari keterbatasan. Maka dari Maluku Utara, dari negeri rempah yang kaya, saya ingin berkata: sudah saatnya kita rawat tubuh dan pikiran kita sebaik mungkin. Bukan hanya untuk kuliah hari ini, tapi untuk Indonesia di masa depan.
"Small bites, big impact. Start with yourself-Sahlaa"