![]() |
Oleh: Fifin Wildanah, M.Pd Mahasiswa Program Doktor Universitas Negeri Malang.
KEMISKINAN dan keterbatasan akses terhadap pendidikan adalah dua sisi mata uang yang saling menguatkan, menciptakan jurang ketimpangan yang lebar di Indonesia. Jutaan anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem masih berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak, sebuah hak konstitusional yang sering terhalang oleh biaya dan stigma sosial. Merespons realitas pahit ini, kehadiran Program Sekolah Rakyat oleh pemerintah adalah langkah konkret dan krusial. Program ini bukan sekadar janji, melainkan upaya inklusif untuk memberikan akses pendidikan gratis bagi anak-anak di Desil 1 dan 2 DTSEN, anak jalanan, hingga kelompok marjinal, sekaligus menegaskan bahwa pendidikan adalah jalan utama membebaskan individu dari belenggu kemiskinan.
Pendidikan bermutu terbukti memperluas peluang kerja, meningkatkan pendapatan, dan menjadi kunci mobilitas sosial yang adil. Namun, fakta menunjukkan anak-anak dari kelompok ekonomi terbawah memiliki tingkat partisipasi sekolah yang lebih rendah, seperti data BPS. Sekolah Rakyat hadir sebagai jawaban atas persoalan mendasar ini. Keunggulannya terletak pada daya jangkaunya yang mampu menarik anak-anak yang terpinggirkan dari sistem formal, menjadikannya pula sebagai pusat perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi.
Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan serius. Akurasi Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) sebagai basis seleksi wajib terus dimutakhirkan untuk menghindari salah sasaran. Kualitas SDM dan infrastruktur juga perlu perhatian, sebab banyak daerah masih kekurangan guru terlatih dan fasilitas yang layak. Lebih dari itu, stigma negatif yang melekat pada anak-anak prasejahtera memerlukan pendekatan berbasis inklusi sosial agar mereka merasa diterima dan dihargai.
Mewujudkan pendidikan inklusif yang sejati bukanlah semata tugas pemerintah. Diperlukan kolaborasi multisektor sebagai gerakan nasional. Masyarakat sipil dan LSM harus menjadi mitra dalam pendampingan, sementara sektor swasta dan dunia usaha dapat memperkuat melalui program CSR yang menyokong beasiswa, sarana, dan pelatihan guru. Media berperan vital dalam membangun narasi positif bahwa pendidikan adalah hak, bukan privilese.
Agar Sekolah Rakyat berjalan efektif dan berkelanjutan, pemerintah harus fokus pada beberapa rekomendasi utama: peningkatan kapasitas guru dengan pelatihan yang humanis dan efektif, evaluasi dan monitoring terpadu berbasis data yang rutin, pemanfaatan teknologi untuk memperluas jangkauan, dan pelibatan aktif keluarga dalam proses pendidikan. Pemerintah daerah wajib menjadi garda terdepan dengan kebijakan yang adaptif dan anggaran yang memadai.
Dengan memperkuat Program Sekolah Rakyat, kita meletakkan fondasi penting untuk memutus rantai kemiskinan struktural. Sekolah Rakyat bukan sekadar sarana pendidikan, tetapi merupakan gerbang kesempatan yang memastikan bahwa anak-anak dari keluarga kurang mampu dapat mengakses pendidikan berkualitas tinggi yang setara, sehingga mereka tidak lagi menjadi korban dari keterbatasan ekonomi yang diwariskan. Melalui pendidikan yang inklusif dan memberdayakan, para lulusan akan bertransformasi menjadi agen perubahan yang kompeten dan berdaya saing, siap membawa perbaikan signifikan bagi masa depan keluarga mereka, lingkungan sosial, dan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.
Harapan besar penulis adalah melihat program ini bertransformasi menjadi pilar utama pembangunan sumber daya manusia, di mana setiap anak Indonesia, tanpa memandang latar belakang ekonomi, memiliki kesempatan setara untuk meraih potensi tertinggi mereka. Jika Indonesia sungguh ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045, maka kita harus memastikan tak boleh ada satu pun anak yang tertinggal di belakang. Masa depan Indonesia terletak di ruang-ruang kelas tempat generasi rentan belajar. (*)

