Iklan

Notification

×

Iklan

Iklan

Perlindungan Perempuan dalam Bayang-bayang Kekerasan yang Terus Menghantui

Selasa | Juni 17, 2025 WIB Last Updated 2025-06-17T12:14:20Z
iklan
Oleh : Inayah Fadliyah Purti,
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran & Ilmu Kesehatan Unkhair Angkatan 2024 

SEBAGAI seorang perempuan yang tumbuh dan berproses di tengah dinamika ruang publik, saya merasa tak mungkin berpaling dari kenyataan pahit yang terus membayangi kehidupan banyak perempuan lain di luar sana, yakni kenyataan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih sangat nyata, terus terjadi, dan bahkan kerap kali dianggap lumrah. Kekerasan itu tidak selalu hadir dalam bentuk fisik yang terlihat atau luka yang bisa difoto. Banyak dari kekerasan itu justru bersembunyi di balik relasi yang tampak baik-baik saja, menyelinap dalam percakapan sehari-hari, dalam relasi asmara yang dikira sehat, dalam komentar iseng yang katanya hanya "bercanda", bahkan dalam rumah sendiri yang seharusnya menjadi tempat paling aman.

Fenomena seperti catcalling yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sepele adalah awal dari perasaan tidak aman yang tumbuh dan mengakar pada banyak perempuan. Lalu, ada relasi toksik yang menguras psikologis dan harga diri pelan-pelan, membuat korbannya merasa bersalah atas luka yang bukan mereka ciptakan. Belum lagi perkosaan yang ironisnya justru banyak dilakukan oleh orang-orang yang dikenal atau bahkan dipercaya korban. Ini bukan hanya soal tindakan kriminal, ini tentang bagaimana sistem sosial kita masih cenderung membungkam perempuan dan melanggengkan kekuasaan laki-laki atas tubuh serta ruang aman perempuan.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada tahun 2024 saja, lebih dari 445.000 kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat. Angka ini bukan hanya statistik dingin. Di balik setiap angka itu, ada nyawa, ada trauma, ada cerita yang tak selalu sempat terungkap. Mirisnya, angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti menunjukkan bahwa ada yang keliru dalam cara kita sebagai masyarakat menangani kekerasan berbasis gender. Bahkan, menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) oleh UNFPA tahun 2021, satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya. Dan kita tahu, angka ini mungkin hanya puncak dari gunung es.

Yang paling memilukan adalah kenyataan bahwa sebagian besar dari kasus ini tidak pernah dilaporkan. Korban kerap dibungkam oleh rasa takut, rasa malu, atau bahkan rasa bersalah yang ditanamkan oleh lingkungan sekitar. Tidak sedikit pula yang mengurungkan niat melapor karena merasa sistem hukum tidak akan berpihak pada mereka, atau karena mereka takut dianggap "bermasalah" oleh keluarga dan masyarakat. Stigma, cibiran, hingga minimnya dukungan emosional membuat perempuan akhirnya memilih diam. Padahal, diamnya korban bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka tidak tahu harus berpegang pada siapa.

Pemerintah Indonesia sejatinya telah mengambil langkah yang patut diapresiasi dalam upaya memerangi kekerasan terhadap perempuan. Salah satu tonggak penting adalah pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun 2022. Undang-undang ini merupakan kemajuan yang sangat berarti karena untuk pertama kalinya negara secara resmi mengakui bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selama ini sering diabaikan atau tidak dianggap serius, seperti pelecehan online, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, hingga perkosaan dalam rumah tangga. UU TPKS memberikan ruang hukum bagi korban untuk mendapatkan keadilan dalam kasus-kasus yang sebelumnya sering tersisih dari sistem hukum konvensional. Ini adalah momen penting yang menandai bahwa negara mulai bergerak ke arah yang lebih inklusif dan berpihak pada perlindungan menyeluruh bagi perempuan.

Lebih jauh, Indonesia juga telah mulai mengadopsi berbagai kerangka kerja dan pendekatan dari komunitas internasional. Salah satunya adalah kerangka kerja RESPECT yang dikembangkan oleh WHO dan UN Women. Kerangka ini tidak hanya berfokus pada perlindungan korban, tetapi juga bertujuan untuk mengubah norma sosial yang membenarkan kekerasan, serta mendorong upaya pencegahan berbasis pendidikan, kesetaraan gender, dan pemberdayaan sejak usia dini. Adopsi pendekatan ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya ingin memperbaiki sistem hukumnya, tetapi juga memperbaiki akar struktural dan budaya yang menjadi penyebab kekerasan terhadap perempuan selama ini.

Namun sayangnya, kemajuan ini masih menemui berbagai hambatan besar di tingkat pelaksanaan. Implementasi UU TPKS dan pendekatan RESPECT di lapangan masih jauh dari kata ideal. Banyak aparat penegak hukum yang belum memahami secara utuh substansi dan semangat dari UU TPKS, sehingga dalam praktiknya, korban sering kali masih harus menghadapi proses hukum yang melelahkan dan bahkan mengintimidasi. Layanan pendampingan dan rehabilitasi korban pun masih tersebar dan belum terintegrasi secara baik, sehingga tidak semua perempuan yang mengalami kekerasan mendapatkan dukungan psikologis, medis, dan hukum yang layak. Belum lagi persoalan rendahnya angka pelaporan kasus kekerasan, yang disebabkan oleh minimnya kepercayaan korban terhadap sistem, serta masih kuatnya stigma sosial yang membuat korban memilih bungkam.

Situasi ini menunjukkan bahwa perjuangan kita belum selesai. Hukum boleh berubah, namun tanpa perubahan cara pandang dan kesiapan infrastruktur pendukung, hukum hanya akan menjadi teks di atas kertas. Diperlukan kerja bersama yang melibatkan semua pihak—pemerintah, lembaga pendidikan, media, tokoh agama, dan masyarakat sipil—untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap perempuan tidak hanya berhenti di tataran kebijakan publik, tetapi benar-benar terasa hingga ke ruang paling pribadi dalam kehidupan setiap perempuan di Indonesia.

Saya percaya bahwa untuk benar-benar melindungi perempuan dari berbagai bentuk kekerasan dan ketidakadilan, kita tidak bisa hanya mengandalkan regulasi atau kebijakan yang tertulis dalam lembaran undang-undang. Regulasi memang penting, tetapi ia hanya akan efektif jika diiringi oleh perubahan budaya yang lebih mendasar dan menyeluruh dalam cara kita memandang perempuan serta relasi kuasa gender dalam masyarakat. Perubahan itu harus dimulai dari ruang-ruang terkecil dan paling awal dalam kehidupan—di rumah tempat anak-anak tumbuh, di sekolah tempat nilai dan norma diajarkan, di media yang setiap hari membentuk persepsi kita, hingga ke ruang publik tempat perempuan menjalani aktivitas sehari-harinya. Tanpa perubahan cara pandang kolektif terhadap perempuan dan tanpa penghargaan terhadap nilai kesetaraan, hukum akan selalu timpang.

Kita perlu menciptakan ruang aman bagi perempuan—ruang di mana mereka tidak hanya bisa bersuara, tetapi juga diyakini, dihormati, dan didampingi. Ruang aman itu harus mampu memberi perempuan keberanian untuk menyampaikan pengalaman mereka tanpa rasa takut akan disalahkan, dikucilkan, atau dihakimi. Ini bukan hanya soal empati, tetapi soal pengakuan hak asasi manusia yang paling dasar. Karena perempuan bukanlah objek yang harus dilindungi dalam diam, melainkan subjek yang berdaya, yang pikirannya cemerlang, emosinya kuat, dan kontribusinya nyata dalam setiap sendi kehidupan sosial, ekonomi, bahkan peradaban.

Perempuan bukan hanya korban. Mereka adalah penggerak. Mereka adalah kekuatan yang sering kali tak terlihat, namun selalu hadir menopang keluarga, masyarakat, dan bangsa. Dunia tanpa perempuan akan menjadi dunia yang pincang—kehilangan separuh potensi terbaiknya. Kita telah terlalu lama hidup dalam sistem yang menyalahkan korban, membungkam suara perempuan, dan membiarkan ketimpangan gender berjalan normal seolah itu adalah takdir. Sudah saatnya kita mengubah cara pandang itu. Sudah waktunya kita membangun sistem yang tidak hanya memihak pada keadilan formal, tetapi juga pada keselamatan, martabat, dan kesejahteraan perempuan secara nyata. Karena ketika perempuan merasa aman dan dihargai, seluruh masyarakat akan lebih adil, lebih kuat, dan lebih manusiawi.(*)
×
Berita Terbaru Update