
Oleh: Ahmad Naufal - Mahasiswa Farmasi Angkatan 2024 Universitas Khairun
KETIKA luka diabetes menjadi momok mematikan yang diam-diam mengintai ribuan masyarakat Indonesia, harapan kadang justru muncul dari tempat yang tak terduga: dari dapur, dari kebun, dan dari mahasiswa. Salah satu kisah itu datang dari kampus kami di Ternate, Maluku Utara. Kisah tentang bagaimana rempah pala yang selama ini hanya dikenal sebagai bumbu dapur bisa diolah menjadi sediaan topikal penyembuh luka yang menjanjikan.
Sebagai mahasiswa farmasi, saya mengikuti dengan penuh ketertarikan bagaimana kakak tingkat saya, Elsa Wulandari Putri Dermawan dan timnya, melakukan riset tentang nanoemulsi minyak atsiri daging buah pala (Myristica fragrans). Dengan bimbingan dari dosen kami, apt. Eri Marwati, S.Farm., M.Si., mereka berhasil menyusun formulasi nanoemulsi yang stabil, efektif, dan berpotensi besar dalam menyembuhkan luka diabetes.
Penelitian tersebut tidak hanya selesai sebagai laporan, tapi telah dilindungi HAKI dan dipublikasikan di jurnal ilmiah. Dari sanalah muncul ide: bagaimana jika karya hebat ini tidak hanya berhenti di meja seminar? Bagaimana jika masyarakat awam juga bisa mengenal manfaat luar biasa dari pala sebagai penyembuh luka? Maka lahirlah gagasan saya untuk membuat produk edukatif bernama PalaDerm, sebuah brosur publik dan branding awal dari hasil riset kakak tingkat saya.
Saya percaya bahwa komunikasi ilmiah kepada masyarakat sama pentingnya dengan eksperimen di laboratorium. Maka, dalam kapasitas sebagai mahasiswa farmasi sekaligus penggiat diseminasi sains, saya mengembangkan brosur PalaDerm: Gel Nanoemulsi untuk Pengobatan Luka dari Minyak Atsiri Pala. Produk ini adalah bentuk apresiasi terhadap riset mereka dan juga bentuk tanggung jawab saya untuk menghubungkan sains dengan masyarakat luas.
Apa yang saya lakukan bukanlah membuat ulang penelitian mereka, apalagi mengklaim temuannya. Tapi saya ingin mengangkat cerita ini keluar dari ruang akademik, menjadikannya percakapan publik, dan mendorong agar temuan ini bisa benar-benar sampai ke tangan mereka yang membutuhkan—baik penderita diabetes, tenaga kesehatan, maupun masyarakat pelosok. Di balik kata "nanoemulsi", terdapat potensi revolusi. Dengan ukuran droplet yang sangat kecil, senyawa aktif dari minyak pala dapat menembus jaringan kulit dengan lebih efektif, meningkatkan bioavailabilitas, dan mempercepat penyembuhan luka yang selama ini sulit sembuh karena komplikasi diabetes.
Nanoemulsi pala ini bukan sekadar wacana. Formulasinya telah melalui uji praklinis, evaluasi fisik, dan terbukti aman serta efektif. Di sinilah letak pentingnya publikasi, agar riset-riset hebat dari tim kampus seperti yang dilakukan oleh Elsa dan timnya tidak hanya terdengar di seminar, tapi juga sampai ke apotek desa, puskesmas, dan tangan-tangan yang membutuhkannya.
Dalam brosur edukatif PalaDerm, saya menampilkan informasi ilmiah yang telah disederhanakan untuk masyarakat umum. Mulai dari manfaat antioksidan pala, potensi antimikrobanya, hingga cara kerja nanoemulsi, dijelaskan dengan bahasa ringan dan visual menarik. Ini penting, agar masyarakat memahami bahwa rempah yang biasa mereka lihat sehari-hari ternyata memiliki nilai farmasi yang luar biasa. Kehadiran brosur ini juga saya maksudkan untuk mendukung hilirisasi riset, yaitu proses membawa hasil laboratorium ke ranah industri dan pelayanan publik. Selama ini, banyak hasil penelitian mahasiswa berhenti di meja laporan. Padahal, jika didorong dengan strategi komunikasi dan branding yang tepat, potensi produk lokal seperti ini bisa menjawab masalah-masalah kesehatan nyata.
Sebagai mahasiswa tahun pertama, saya justru merasa terdorong untuk berkontribusi dalam cara yang berbeda. Saya mungkin belum berada pada posisi membuat formulasi atau menguji hewan coba. Tapi saya bisa menjadi juru bicara ide, penyebar pengetahuan, dan penghubung antara laboratorium dan masyarakat. Riset tidak cukup hanya dilakukan—ia harus disuarakan, dipahami, dan dirasakan manfaatnya.
Di setiap bagian PalaDerm, saya mencantumkan bahwa formulasi ilmiah sepenuhnya adalah milik tim peneliti utama Elsa Wulandari dkk. dan dosen pembimbingnya. Saya hanya menjadi penyampai. Dalam dunia akademik, ini adalah etika penting yang harus dijaga. Tidak ada inovasi tanpa kolaborasi, dan tidak ada kolaborasi tanpa penghormatan terhadap hak cipta dan kekayaan intelektual. Saya berharap brosur ini bisa berkembang menjadi media sosial, video edukasi, atau bahkan prototipe produk riil. Apabila difasilitasi oleh inkubator kampus atau pemerintah daerah, bisa jadi kita akan melihat produk herbal seperti PalaDerm hadir di rak-rak apotek lokal. Bukan sebagai obat ajaib, tapi sebagai buah dari sinergi antara ilmu, tanah, dan keberanian anak muda.
Ternate, sebagai salah satu daerah penghasil pala terbaik di Indonesia, punya peluang besar. Dengan pendekatan seperti ini, petani pala pun bisa ikut sejahtera karena limbah daging buah pala yang biasanya dibuang bisa menjadi bahan baku farmasi. Inilah yang saya maksud dengan “obat dari kebun sendiri”. Dan ini juga menjadi kontribusi nyata terhadap SDGs (Sustainable Development Goals) nomor 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera. Indonesia tidak boleh selamanya bergantung pada obat luar negeri. Kita bisa, dan kita harus, berdaulat secara farmasi dimulai dari rempah-rempah kita sendiri.
Sebagai penulis opini ini, saya hanya ingin menyampaikan satu pesan: rasa ingin tahu harus diikuti dengan rasa tanggung jawab. Ketika kita membaca riset yang luar biasa, jangan berhenti hanya pada rasa kagum. Ajaklah riset itu berjalan lebih jauh. Dorong agar ia bersuara, masuk media, diterjemahkan ke dalam bentuk yang dimengerti banyak orang. Jika kita membuka ruang kolaborasi antara peneliti, mahasiswa, dan masyarakat, akan lahir banyak produk kesehatan yang tak kalah hebat dari negara maju. Karena sesungguhnya, Indonesia tidak kekurangan bahan—yang kita butuhkan hanyalah jembatan antara potensi dan realisasi.
Maka, saya ucapkan terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya untuk Kak Elsa, Anjas, Muzdhalifa, Tantri, Nur Ainun, serta dosen pembimbing, apt. Eri Marwati, S.Farm., M.Si. Tanpa riset dan dedikasi mereka, tidak akan ada PalaDerm, dan tidak akan ada tulisan ini.
Saya hanya mengembangkan sisi luar dari karya hebat mereka agar lebih banyak orang yang tahu, paham, dan pada akhirnya bisa ikut merasakan manfaatnya. Jika hari ini yang saya buat hanya sebatas brosur, mungkin besok kita bisa membuat prototipe, lalu sertifikasi, lalu produksi massal. Inilah kekuatan inovasi kampus: ketika satu ide melahirkan karya, lalu karya itu melahirkan karya lain. Ketika satu penelitian membuka jalan untuk banyak kontribusi. Semua ini hanya mungkin jika kita saling menghargai, saling dorong, dan saling menumbuhkan.
Saya tidak pernah berniat mengambil hak siapa pun. Justru sebaliknya, saya ingin menjadi penyambung lidah mereka yang selama ini meneliti dalam diam. Menjadikan mereka dikenal bukan hanya sebagai mahasiswa pencetak laporan, tapi juga pahlawan farmasi lokal yang kelak bisa mengubah wajah pelayanan kesehatan Indonesia. Dan dari kota kecil bernama Ternate, dengan aroma pala yang hangat, kami semua ingin berkata bersama:
“Kami siap menyembuhkan luka bangsa dari bumi sendiri, dengan karya sendiri.”