
![]() |
Oleh : Hamka Jufri, Pegiat Perikanan Maluku Utara
Destructive fishing merupakan praktik-praktik penangkapan ikan secara ilegal seperti penggunaan bahan peledak (dynamite), racun sianida, dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Praktik ini berdampak sangat serius terhadap ekosistem laut, tidak hanya membunuh ikan, tetapi juga menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah utama berbagai spesies laut.
Pada tahun 2022, sekitar 35% terumbu karang di wilayah Halmahera Selatan mengalami kerusakan sedang hingga berat akibat praktik destructive fishing menggunakan bom ikan. Kerusakan ini menyebabkan penurunan produktivitas perikanan lokal yang sangat bergantung pada keberlanjutan ekosistem tersebut. Data dari Balai Riset dan Observasi Laut (BROL) Maluku Utara mendukung temuan ini.
Sementara itu, data dari World Bank (1996) menyatakan bahwa kapasitas bom seberat 2.000 gram dalam praktik pemboman ikan dapat menghancurkan sekitar 12,56 meter persegi terumbu karang. Lebih lanjut, McManus et al. (1997) dan Pet-Soede & Erdman (1998) menyatakan bahwa kerusakan terumbu karang akibat bom ikan dapat mencapai 0,5–2 meter persegi per 1 kg bom ikan.
Pada periode 2017–2023, terjadi peningkatan kasus penangkapan ikan ilegal di Maluku Utara. Aktivitas destructive fishing memberikan kontribusi besar terhadap penurunan hasil tangkapan sekitar 40% di beberapa wilayah pesisir Halmahera Selatan (laporan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP).
Aktivitas destructive fishing tidak hanya mengakibatkan kehancuran ekologi, tetapi juga berdampak pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan lokal yang bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan utama. Ketika stok ikan berkurang, pendapatan mereka pun menurun dan memicu instabilitas ekonomi di kawasan tersebut.
Pemerintah telah melakukan upaya pencegahan melalui regulasi yang ketat, namun praktik destructive fishing tetap berlangsung. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya lemahnya pengawasan perairan, kurangnya edukasi, rendahnya kesadaran masyarakat tentang dampak jangka panjang praktik tersebut, kebutuhan ekonomi, tuntutan pasar, dan kemiskinan (SUSENAS – Survei Sosial Ekonomi Nasional).
Oleh karena itu, dibutuhkan langkah tegas, terintegrasi, dan kolaboratif dari pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk memberantas destructive fishing. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain:
- Penguatan pengawasan di wilayah pulau, laut, dan pesisir yang rawan praktik destructive fishing, termasuk pembentukan serta pengaktifan POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas);
- Penindakan tegas terhadap pelaku;
- Edukasi kepada nelayan tentang praktik penangkapan yang ramah lingkungan serta larangan penggunaan alat tangkap perusak; dan
- Pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis perikanan berkelanjutan agar ekonomi mereka semakin membaik.
Dengan semangat kolaborasi untuk mencegah praktik destructive fishing, keaktifan masyarakat dalam pencegahan menjadi kunci utama dalam menjaga kelestarian laut Halmahera Selatan.
Kesimpulan: Jika destructive fishing terus dibiarkan, kerusakan ekosistem laut di Halmahera Selatan akan semakin parah dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat pesisir. Upaya kolaboratif pelestarian dan penegakan hukum harus menjadi prioritas demi masa depan laut yang sehat dan produktif.(*)