
![]() |
Oleh: Assyura Oemar, ASN Pemprov Maluku Utara
SOFIFI merupakan ibu kota Provinsi Maluku Utara yang telah ditetapkan sejak tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999. Namun sampai hari ini, statusnya sebagai pusat pemerintahan provinsi belum diikuti dengan kemandirian administratif. Secara hukum, Sofifi adalah ibu kota. Namun secara tata kelola, ia masih menjadi bagian dari wilayah administratif Kota Tidore Kepulauan.
Kondisi ini menghadirkan tantangan tersendiri, tidak hanya dari sisi pelayanan publik, tetapi juga dalam hal perencanaan pembangunan, infrastruktur, dan efektivitas pemerintahan. Dalam banyak aspek, terdapat ketimpangan antara peran strategis Sofifi sebagai pusat pemerintahan dengan kapasitasnya sebagai kawasan yang belum memiliki status otonom.
Ketimpangan Tata Kelola
Sebagai pusat pemerintahan provinsi, Sofifi telah menjadi lokasi berdirinya kantor-kantor organisasi perangkat daerah (OPD) dan aktivitas utama birokrasi Maluku Utara. Namun, dalam kenyataannya, pelayanan dasar seperti air bersih, pengelolaan sampah, transportasi umum, serta perencanaan tata ruang masih bergantung pada kebijakan dan kewenangan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.
Kondisi ini menyebabkan dinamika pembangunan Sofifi berjalan tidak secepat yang diharapkan. Perencanaan dan pengelolaan kawasan ibu kota kerap menghadapi tantangan koordinatif, yang berujung pada keterlambatan eksekusi program maupun terbatasnya intervensi pembangunan berbasis kawasan. Ini tentu berpengaruh pada citra dan daya saing Sofifi sebagai wajah administratif Provinsi Maluku Utara.
Wacana Pemekaran dan Moratorium DOB
Wacana pemekaran Sofifi menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB), baik dalam bentuk kota maupun kabupaten, bukanlah hal yang baru. Beberapa diskusi telah digelar, baik di tingkat lokal maupun nasional. Namun perlu disadari bahwa pemekaran daerah bukan sekadar keputusan politik, melainkan proses yang panjang dan kompleks.
Berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta PP Nomor 78 Tahun 2007, usulan pembentukan DOB harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan kewilayahan. Termasuk di dalamnya jumlah kecamatan minimal, jumlah penduduk, potensi ekonomi, kesiapan infrastruktur, serta dukungan dari DPRD dan kepala daerah induk.
Selain itu, hingga saat ini, pemerintah pusat masih memberlakukan moratorium pemekaran wilayah. Artinya, seluruh proses pembentukan daerah baru untuk sementara dihentikan, kecuali untuk wilayah dengan pertimbangan khusus, seperti di Papua. Dalam konteks ini, Sofifi memang memiliki nilai strategis karena statusnya sebagai ibu kota provinsi. Namun, tetap dibutuhkan argumentasi yang kuat, kajian yang komprehensif, dan strategi komunikasi yang tepat agar usulan ini bisa memperoleh atensi dari pemerintah pusat.
Aspek Kewilayahan, Sejarah, dan Budaya
Perlu juga dipahami bahwa wacana pemekaran Sofifi tidak terlepas dari dinamika historis dan sosiopolitik lokal. Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dan pihak Kesultanan Tidore pada dasarnya memiliki keberatan terhadap rencana pemisahan wilayah ini. Sebab, secara yuridis dan historis, Sofifi adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah adat dan administratif Tidore.
Dari aspek kewilayahan, pelepasan Sofifi dikhawatirkan akan berdampak pada komposisi wilayah dan potensi ekonomi Tidore secara keseluruhan. Sementara dari sisi sejarah dan budaya, kawasan ini memiliki nilai simbolik yang tinggi sebagai bagian dari tapak peradaban Kesultanan Tidore yang merupakan salah satu pusat kekuasaan maritim yang berpengaruh di kawasan timur Indonesia sejak abad ke-15.
Penolakan atau resistensi ini bukan semata-mata persoalan administratif, melainkan bagian dari upaya mempertahankan identitas, warisan sejarah, dan ruang budaya yang telah hidup berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, setiap upaya penataan ulang wilayah Sofifi harus dilakukan dengan pendekatan yang inklusif, penuh dialog, dan menghormati kearifan lokal serta konsensus kolektif antarpemangku kepentingan.
Kawasan Khusus adalah Jalan Tengah yang Rasional
Di tengah keterbatasan tersebut, terdapat satu opsi kebijakan yang dapat menjadi jalan tengah, menjadikan Sofifi sebagai kawasan khusus ibu kota provinsi. Skema ini memungkinkan pengelolaan administratif yang lebih fleksibel, tanpa harus menunggu status otonomi formal.
Model kawasan khusus telah diterapkan di berbagai daerah di Indonesia, seperti DKI Jakarta yang memiliki kekhususan administratif, maupun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang dikelola dengan pendekatan otoritas khusus. Untuk Sofifi, pendekatan ini dapat memberikan ruang bagi Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk lebih leluasa dalam merancang program pembangunan, penganggaran, dan pengelolaan tata ruang, khususnya dalam koridor fungsi pemerintahan provinsi.
Penetapan kawasan khusus juga dapat mengurangi beban koordinasi yang selama ini terjadi antara pemerintah provinsi dan pemerintah daerah induk. Dengan dukungan regulasi daerah (misalnya melalui Peraturan Gubernur atau kesepakatan antarpemerintah daerah), penguatan kelembagaan, dan dukungan sektoral dari kementerian terkait, kawasan ini dapat dikembangkan secara lebih fokus dan terpadu.
Membangun Konsolidasi dan Sinergi
Apa pun bentuk kebijakan yang ditempuh, baik menuju DOB maupun penetapan kawasan khusus, hal utama yang dibutuhkan saat ini adalah konsolidasi lintas sektor. Pemerintah provinsi, DPRD, pemerintah daerah induk, akademisi, tokoh masyarakat, serta warga perlu membangun dialog kebijakan yang sehat, partisipatif, dan berbasis data.
Di saat yang sama, diperlukan kepemimpinan daerah yang mampu mengartikulasikan aspirasi ini secara bijak dan sistematis kepada pemerintah pusat. Dalam konteks ini, saya meyakini bahwa Gubernur Maluku Utara saat ini memiliki kapasitas dan jejaring yang cukup kuat untuk membangun komunikasi lintas kementerian dan, jika diperlukan, menyampaikan langsung aspirasi strategis ini kepada Presiden.
Langkah-langkah persuasif, argumentasi berbasis bukti, dan pendekatan kebijakan yang konstruktif adalah kunci agar agenda penguatan peran Sofifi mendapat ruang dalam prioritas nasional.
Menatap Masa Depan Sofifi
Mewujudkan Sofifi sebagai kota yang mandiri secara administratif bukan sekadar soal pemekaran wilayah. Lebih dari itu, ini adalah bagian dari upaya membangun pusat pemerintahan provinsi yang responsif, efisien, dan berorientasi pada pelayanan publik. Dalam jangka panjang, ini juga akan meningkatkan kapasitas perencanaan, mendorong masuknya investasi, dan memperkuat wajah Maluku Utara di tingkat nasional.
Agenda ini tentu membutuhkan waktu, kajian, dan langkah bertahap. Namun langkah pertama bisa dimulai hari ini yaitu dengan membangun kesamaan pandang, memperkuat argumentasi kebijakan, dan merancang peta jalan (roadmap) yang realistis dan inklusif.
Sofifi adalah simpul strategis Maluku Utara. Sudah saatnya ia tidak hanya diakui sebagai ibu kota secara yuridis, tetapi juga diberi ruang yang cukup untuk tumbuh dan berkembang sebagai pusat pemerintahan yang sejati.(*)