Iklan

Notification

×

Iklan

Iklan

Konflik Tambang di Haltim Memanas, Warga Luka, Ibu dan Anak Alami Trauma

Selasa | April 29, 2025 WIB Last Updated 2025-04-29T08:44:25Z
iklan
MABA, DETIKMALUT.com - Ratusan warga dari Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, menggelar aksi protes menolak aktivitas pertambangan PT Sambaks Tambang Sentosa (STS) yang dianggap mengancam keberlangsungan tanah dan hutan adat mereka. Aksi ini berlangsung pada Senin, 28 April 2025, dimulai dari Desa Pekaulang dan berakhir di kantor perwakilan perusahaan di Desa Baburno.

Ratusan warga tersebut turun ke jalan untuk menuntut dihentikannya operasi tambang yang mereka nilai membawa dampak buruk terhadap lingkungan hidup dan hak atas tanah ulayat. Selain penghentian aktivitas, massa juga menuntut pencabutan izin usaha pertambangan PT STS serta pemulihan lahan-lahan adat yang digusur, termasuk kebun kelapa masyarakat di Dusun Memeli, Desa Pekaulang.

Meski aksi berlangsung damai, kehadiran aparat kepolisian dari Polres Halmahera Timur dan sekitar 20 hingga 30 personel Brimob justru memicu ketegangan. Saat massa mulai mendekati kantor perusahaan, situasi memanas.

“Ketegangan meningkat saat terjadi adu argumen dan saling dorong antara aparat kepolisian dengan warga. Sekitar pukul 16.00 WIT, petugas Brimob menembakkan gas air mata sebanyak 10 kali ke arah kerumunan warga tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu,” ungkap Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara.

Tembakan gas air mata tersebut menyebabkan sejumlah warga mengalami luka-luka. Di antaranya adalah Mulyadi Palangi, yang terkena tiga tembakan di bahu dan lengan, serta Riski Boway dan Sulandra Asri yang juga mengalami cedera. Banyak warga, terutama perempuan dan anak-anak, mengalami trauma akibat kekerasan yang terjadi secara tiba-tiba.

Menurut Julfikar, ini bukan kali pertama warga menghadapi tindakan represif aparat. Dua hari sebelumnya, pada 26 April 2025, aparat kepolisian disebut menghalangi sejumlah warga Wayamli yang berada di sekitar wilayah adat mereka yang telah digusur oleh perusahaan.

“Ketika warga mendengar kabar bahwa perusahaan tambang nikel tersebut telah kembali beroperasi di hutan wilayah adat Oimalaha Wayamli, mereka mengutus sekitar 13 orang untuk melakukan pengecekan. Ironisnya, ketika polisi datang, mereka meminta warga pulang dan melakukan tindakan pemaksaan, bahkan sebagian dari mereka diborgol,” katanya.

Gufran Jahat dari Aliansi Masyarakat Adat Maba menilai rangkaian kejadian tersebut sebagai bentuk kekerasan terstruktur yang melibatkan aparat negara dalam melindungi kepentingan korporasi.

“Polisi malah berfungsi sebagai alat kekuasaan korporasi yang merusak lingkungan dan menguasai tanah adat. Seharusnya, polisi melindungi hak-hak warga, namun kenyataannya mereka menggunakan kekuatan yang brutal untuk membungkam suara masyarakat. Di sisi lain, elit lokal terlihat diam saja, membiarkan keadaan ini terus berlanjut tanpa langkah jelas untuk menghentikan kekerasan terhadap rakyat,” ujarnya.

Masyarakat dan aliansi sipil mendesak pemerintah daerah di tingkat kabupaten maupun provinsi agar segera turun tangan. Mereka juga meminta pertanggungjawaban PT STS atas seluruh dampak lingkungan dan sosial yang telah ditimbulkan.

“Selain itu, kami juga mendesak PT STS untuk bertanggung jawab atas semua kerusakan yang telah mereka sebabkan dan segera menghentikan aktivitas pertambangan di tanah adat yang telah merusak ekosistem serta kehidupan masyarakat,” tandas Gufran.***
×
Berita Terbaru Update